Header Ads

Seo Services

Revitalisasi tanggung jawab universitas kita (opini)

oleh Feri Yuliansyah
Universitas, sebuah lembaga yang masih dapat dikatakan baru di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara dibelahan dunia barat. Demikianlah, negri ini tidak mempunyai kampus dalam arti modern sebelum proklamasi kemerdekaaannya.
Universitas Gadjah mada (UGM), yang merupakan universitas tertua di tanah air pun baru berdiri pada tanggal 17 februari 1946 di Yogyakarta, dengan nama Balai perguruan tinggi Gadjah Mada, yang pada saat itu masih bersifat swasta. Meskipun begitu, cikal bakal universitas di tanah air sudah lama di canangkan oleh pemerintah kolonial, yaitu di Batavia (Sekarang Jakarta) dan kemudian Bandung.Pada masa orde baru, peranan kampus begitu besar dalam mensukseskan pembangunan bangsa. Pemerintah - dengan slogan yang gampang diucapkan tetapi sulit dilaksanakan, yaitu bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen – selalu menempatkan para akademisi senior beberapa perguruan tinggi terkemuka di tanah air untuk menduduki jabatan penting dalam kabinet pembangunan. Namun pada era ini, terjadi suatu friksi yang sangat kuat antara pemerintah dengan pihak kampus sehubungan dengan di keluarkan kebijakan NKK/BKK, yang menghapus peranan dewan mahasiswa di setiap universitas. Langkah depolitisi kampus ini di perkuat pula dengan pemberlakuan sistem SKS (Satuan Kredit Semester) di semua universitas, baik negeri maupun swasta. Hal inilah yang membedakan membedakan kemajuan negara kita dengan Korea Selatan. Disana, pembangunan berjalan dengan pesat tetapi mahasiswanya tetap kritis.
Pada era reformasi sekarang, jejak-jejak langkah depolitisi kampus sedikit demi sedikit mulai terkikis, yaitu mulai diakuinya eksistensi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di di setiap kampus, walaupun hal ini belum dapat mengembalikan dinamika kampus.
Apapun yang terjadi dengan belum kembalinya dinamika kampus ideal itu jangan terlalu disesali dan ditangisi, karena semua itu adalah harapan kita bersama. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk berjuang, dengan mulai memikirkan konsep kedepan dengan lebih rasional. Kita juga harus mempunyai visi yang jauh. Karena, dalam segala hal, Universitas di nusantara masih tertinggal jauh dari universitas di negara-negara maju. Mahasiswa fakultas ekonomi
misalnya, mereka terlalu dicekoki dengan buku-buku teks yang berorientasi pada ekonomi kapitalistik, yang tidak bersandar pada ekonomi kerakyatan dan nyaris tanpa studi kasus khas negeri ini.
Di sisi lain, ketidak pedulian terhadap kebutuhan para intelektual muda, menyebabkan keengganan melakukan program penerjemahan secara besar-besaran dan berkesinambungan terhadap buku-buku teks mahasiswa. Kalaupun ada, itupun hanya segelintir dan harganya masih tergolong mahal untuk ukuran rata-rata mahasiswa. Padahal, tidak sedikit para pengajar kita yang memiliki kualifikasi Magister dan Doctor, keluaran dari beberapa universitas ternama di belahan dunia barat, yang bisa melakukan penerjemahan atau menulis buku-buku teks yang berorientasi padakultur nusantara.
Selain itu, hendaknya kita mesti sadar tentang peranan penting jurnal ilmiah pada kemajuan bangsa dan pengaruh suatu bangsa di mata dunia. Memasuki era AFTA 2004, kontribusi ilimah kita pada jurnal-jurnal internasionalmasih sangat minim. Kenapa ?. Kita tidak perlu malu, bahwa jurnal dalam bahasa nasional pun masih sangat sedikit. Dengan kondisi ini, patut dipertanyakan, bagaimana mungkin memperluas pengaruh ke jurnal antar bangsa ?. Tampaknya, dosen-dosen peneliti di tanah air hanya menulis karena dorongan kum (kredit) saja, karena honorarium mereka menulis di jurnal relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan menulis artikel lepas di media cetak.

Otonomi kampus
Kalau pada masa orde baru, Perguruan Tinggi negeri (PTN) di kelola secara politis, lain halnya pada era reformasi. Pada era kebangkitan dari krisis seperti sekarang ini, PTN mulai di upayakan untuk mandiri dan di kelola sendiri oleh pihak kampus, tanpa ada ketergantungan yang kuat terhadap pemerintah. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah dengan kemandirian kampus tersebut, PTN akan dikelola secara bisnis, seperti halnya yang terjadi pada Perguruan tinggi Swasta (PTS) ?.
Komersialisasi pendidikan yang di dilalukan oleh PTS, dengan berlindung pada sifat sosial yayasan pembina yang telah melenyapkan sekian banyak pajak yang semestinya masuk ke kas negara, sendiri sesungguhnya tidak ditabukan.
Biaya pendidikan yang di tetapkan oleh universitas-universitas swasta pun, terbilang cukup tinggi.
Seandainya kelak, PTN di kelola secara komersil, dengan biaya pendidikan yang tinggi. Maka kian terbiaslah pemerataan pendidikan tinggi bagi para pemuda brilian yang berlatar belakang ekonomi lemah. Apakah mereka mesti menjadi pengangguran baru yang nyaris tanpa keahlian khusus.
Memasuki era otonomi kampus ini, hendaknya para pengelola kampus telah memikirkan konsep, sembari mengevaluasi sejauh mana sumbangsihnya pada kaum terbelakang negeri ini dan berapa banyak kursikah yang tersedia buat golongan ini setiap tahun akademik baru.
Di samping tanggung jawab kerakyatan tersebut, Perguruan tinggi hendaknya jangan terlalu memelihara “sekam” dalam tubuhnya.
Terdapat kubu-kubuan yang saling berselisih paham di banyak kampus. Apakah hal ini layak terjadi di kampus. Orang-orang pintar saling berseteru. Doktor melawan doktor, dekan versus dekan, rektor menghadapi calon rektor, dsb. Terus, siapa yang jadi korban sesungguhnya dari peristiwa ini ?. Tak lain dan tak bukan adalah Mahasiswa.

Revitalisasi

Tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat), yang merupakan simbol dari fungsi universitas di tanah air agaknya mesti di redefinisikan demi revitalisasi tanggung jawab kampus di tengah-tengah masyarakat yang sedang kembali bangkit untuk membangun ini.
Mengapa akhir-akhir ini, masyarakat seakan terlempar dari perhatian menara gading universitas di tanah air yang megah-megah itu ?. Para akademisi hanya sibuk membahas hal-hal yang terlalu jauh untuk dijangkau realita kerakyatan.
Bila kita memperhatikan dan menyimak aspek sejarah universitas-universitas ternama di negara-negara barat, maka imbasnya akan segera tampak pula pada universitas-universitas di tanah air. Kebebasan universitas pada suatu ketika dulu dibarat, sempat di wujudkan sebagai sterilisasi dari persoalan sosial. Institusi-institusi itu di pimpin oleh para rahib yang hidup dengan jarak yang begitu jauh dari rakyat. Bahkan, para sarjana itu tidak boleh di tangkap oleh penguasa. Begitulah, rakyat hidup dengan persoalan sehari-hari, sementara putra-putri terbaik mereka mempelajari filsafat socrates, plato, dan aristoteles.
Kampus sebagai menara gading seperti yang diilustrasikan di atas, bukan tidak ada mamfaatnya. Jerman (barat), yang seperti kita ketahui sebagai sebuah negara yang mengalami kekalahan pada perang dunia II lalu, kini tampil sebagai salah satu raksasa industri di dunia. Penyelidikan menunjukan bahwa prestasi ini di hasilkan oleh para ilmuwan mereka yang tinggal di menara gading universitas. Mereka (ilmuwan) bekerja tak kenal lelah untuk merumuskan ilmu-ilmu murni yang menjadi dasar dari semua ilmu terapan, dari teknologi sederhana sampai teknologi mutakhir. Sekarang, kampus dinegeri ini tumbuh menjadi lembaga pendidikan paling sosial, dengan banyak fasilitas yang serba gratis bagi mahasiswa.
Namun yang terjadi di Indonesia tidak demikian. Fungsi kampus sebagai menara gading digantikan menjadi menara air. Air yang menjadi lambang kehidupan memang dapat menyuburkan tanaman, menghidupi ikan-ikan, melepaskan dahaga orang-orang yang kehausan, dan membersihkan diri dari kotoran-kotoran. Begitulah, para ilmuwan menara air selalu pro-aktif dalam menyukseskan program-program yang di canangkan pemerintah. Tetapi apakah mereka sadar bahwa selain dimamfaatkan untuk tujuan kehidupan yang positif, air juga dapat digunakan dengan sia-sia seperti pemborosan atau sekedar penghias taman. Lagi pula, apabila ada tangan yan begitu perkasa mengendalikan keran air yang dimaksud, air dapat dipakai “semau gue”.
Suatu ketika dalam perjalanan universitas di tanah air, pernah pula dipertanyakan tentang hakekat kampus dan tanggung jawab sosialnya. Universitas, dengan para mahasiswa dan profesornya, idealnya menjadi milik rakyat yang kemudian menjadikannya menara api yang memancarkan cahaya bagi masyarakat sekeliling, yang memandang dengan harapan berlebih tentang orang-orang pintar yang belajar di gedung-gedung yang megah ini. Namun, kampus itu sendiri milik pemerintah, pihak yang membangunnya.
Sepercik harapan muncul dari keberadaan otonomi kampus di nusantara, yang dengan kebebasan mimbarnya, kelak menjadi menara api yang menjadi harapan terakhir kaum tersisih, yang tidak mendapati cahaya dalam kehidupan mereka yang senantiasa gelap.
Copyright from Indralaya Post edisi November 2003

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.