Header Ads

Seo Services

MAS JANJI HIDUP SELAMANYA (cerpen)

oleh : Feri Yuliansyah

Malam kian larut. Aku merebahkan tubuhku diatas pembaringan, menerawang menatap kelamnya hidupku yang berusaha kusingkirkan selamanya. Suasana sunyi makin menyeruak masuk ke dalam kamarku yang sumpek dan panas. Alunan irama lagu dari radio tapeku yang butut turut menghanyutkan pikiran pada kenyataan yang sulit dilupakan.
Batinku mengutuk diriku ketika realita mencabik-cabik impianku. Kucoba berlari dari pahitnya kenyataan, namun hatiku seolah berkata “tidak. Ini tak akan menyelesaikan masalah”.
Kucoba berbagi dengan beberapa temanku, tetapi mereka hanya menatap haru, meninggalkan kata tak bermakna. Sering pula mereka mendengarkanku dengan tak acuh, lalu pergi tanpa pernah mengerti apa yang sedang kurasakan. Mungkin, sudah saatnya aku memasrahkan hidupku dan mengatakan hal yang sebenarnya pada Shinta, pikirku termenung.
Aku pun bangkit dan merapikan tempat tidurku. Kusiapkan seluruh perlengkapan yang akan kubawa esok kekota kelahiranku dulu. Palembang. Ya, Palembang-lah nama kotanya. Dikota itulah aku dan Shinta sempat memadu janji setia, sebelum jarak dan waktu akan memisahkan kami.
“Aku harus bertemu Shinta” kataku sembari membuka-buka kembali surat-surat shinta padaku, yang kian lusuh termakan oleh waktu.
Esoknya, tak lama setelah aku menginjakan kaki dikota tempatku menimba ilmu itu, langsung saja kutemui Shinta dirumahnya. Masih seperti yang dulu, ‘Ta, begitulah aku memanggil Shinta, masih tetap cantik, lembut, ceria dan hangat. Tak ada perubahan pada diri Shinta yang tampak padaku.
“Mas, kok nggak ngasih kabar sih, kalo mas mau ke palembang. Apa mas mau ngasih ‘ta surprise yach?” Kata shinta membuka pembicaraan
“Ta, mas mau ngomongin sesuatu pada ‘ta” kataku dengan muka serius.
“Mo ngomongin apa sih mas, kok kayaknya serius banget?”
“ta…,” kataku mengawali cerita, membuat suasana menjadi hening seketika. “Mas tahu kalau cerita mas ini akan membuat ‘ta sedih. Tapi, mas harap ‘ta segera usap air mata ‘ta itu. Jangan ‘ta biarkan air mata ‘ta berurai dipipi ‘ta. Mas sedih dan nggak bisa bicara kalau ‘ta nanti menangis tanpa suara, dan terdiam tanpa kata. Janji yach ‘ta nggak bakalan sedih”
Shinta hanya terdiam memperhatikan setiap ucapanku sembari menganggukkan kepalanya, tanda ia setuju.
“Ta…,” kataku melanjutkan cerita. “Masmu kini sedang berada diambang kesunyian hidup. Bertarung dengan sisa-sisa hidup, dan berlindung dalam takdir illahi”
Shinta menatapku tajam, memperhatikan setiap kata yang ku ucapkan. Tak tahu gerangan apa yang sedang dipikirkannya. Shinta yang biasanya ceria, kini larut dalam suasana.Tak ada satu kata pun yang terlontar dari bibirnya yang mungil.
“Ta…” Lanjutku lagi. “Kekuatan cinta yang sering kita agungkan dulu, tampaknya tak mampu memancarkan semangat cita-cita dalam diri mas. Bahkan tubuh mas sekarang pengap disusupi oleh penyakit. Kesehatan mas semakin lemah dan menurut dokter, hidup mas nggak bakalan lebih dari 10 tahun lagi”
Aku sejenak berhenti bercerita ketika kulihat pancaran kesedihan yang begitu kental diwajah Shinta. Bulir-bulir airmata tak terasa mulai menetes diwajahnya. Kecantikkannya kini terasa bias dalam kesedihan. Ia menatapku dalam pancaran airmatanya, yang sering membuat setiap lelaki memalingkan wajahnya. Aku hanya mampu menundukkan kepala sambil sesekali melirik wajahnya basah oleh airmata, tak bisa menatap kesedihan yang sedang dirasakannya.
“Mas…,” Shinta memecah kebisuan.
Aku mengangkat wajahku. Tubuh semampai itu kuamati dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Mas percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh dokter? Bukankah Jodoh, Rezeki, dan ajal itu ditentukan oleh Allah, seperti apa yang diajarkan agama kita. Tak semestinya mas terlalu percaya apa yang dikatakan dokter. Toh, dokter bukanlah tuhan yang dapat memvonis hidup manusia. Bisa jadi, dokter salah dalam menganalisa dan menentukan hasil diagnosanya. Bukankah itu mungkin terjadi?” katanya.
Aku termenung mendengar ucapan Shinta. Namun batinku terus bergolak. Ada suatu hal yang mesti kusampaikan
“Ta…, Dengan penuh keyakinan, mas percaya bahwa ajal mas ada ditangan tuhan. Namun…, mas juga tak bisa memungkiri apa yang dikatakan oleh dokter” ucapku mencoba memberi pemahaman.
Shinta kemudian memandangku tajam. Ia pun hanya diam saat aku melanjutkan pembicaraan.
“Ta…, Mas sayang banget ama ‘ta. Sayannnnggg banget ‘ta. Tapi…, karena mas sayang banget ama ‘ta, mas nggak pengen lihat ‘ta sedih, apalagi sampe buat ‘ta kecewa. Karena itulah…”
Aku tiba-tiba menghentikan ucapanku, seolah ada duri yang menusuk hatiku. Dadaku berdebar-debar, layaknya bom atom yang akan meledak. Aku terus membatin, Aku harus memutuskan sesuatu.
Tatapan Shinta semakin tajam. Entah gerangan apa yang sedang dirasakannya.
“Mas berharap, ‘ta bisa mendapatkan pendamping yang jauh lebih baik dari mas”
“Tapi, Mas,” sergah Shinta pelan. Ia paham betul dengan sifatku, dan ia tampaknya sudah bisa menebak kata-kata apa yang akan meluncur dari lidahku selanjutnya. Namun ia pun memahami isyaratku agar aku dapat melanjutkan kata-kataku..
“Mas tahu ini berat bagi hubungan kita” lanjutku “Tapi…, mas mesti sadar, kondisi kesehatan mas tak akan mungkin membaik. Bahkan malah akan terus memburuk, dan itu akan banyak menyita kepedulian dan waktu ‘ta. Mas nggak pengen sisa waktu ‘ta nantinya habis oleh ngurusin mas.” kataku mencoba menjelaskan..
“Mas…,” tutur Shinta pelan. “Apakah selama ini mas masih belum yakin akan cinta ‘ta?. Sungguh, kondisi ini tak akan mengubah sikap ‘ta pada mas. Sebab, baik atau buruknya kondisi kesehatan mas, adalah resiko cinta yang mesti ‘ta hadapi. Lagipula mas, Apakah dengan mendapat laki-laki lain akan menjamin kebahagian ‘ta?” katanya lirih.
Aku hanya terdiam mendengar semua perkataan Shinta. Tak ada satu jawaban yang dapat terlontar dari mulutku ini. Sayatan-sayatan katanya seolah mulai menggoyahkan keputusan yang telah kumatangkan sebelumnya. Aku terus merenung. “Aku tak ingin kebahagiaan Shinta terenggut ditanganku. Aku ingin orang yang sangat kusayangi ini dapat menikmati kehidupan bahagia, bukan kehidupan buram yang akan kujalani” bisikku membathin..
“Apalagi mas…,” Lanjut Shinta lagi, “kita telah menjalani hubungan ini lebih dari 4 tahun, dan keluarga kita sudah merestui hubungan ini. Sulit rasanya…”
“ta,” potongku tiba-tiba. “kondisi yang mas hadapi saat ini harusnya membuat kita berpikir dua kali untuk melanjutkan hubungan ini. Kita harus berpikir bijak, meskipun ini akan memberikan kepahitan bagi kita sendiri. Mas bukannya laki-laki yang tak pernah memikirkan perasaan wanita. Tapi lebih dari itu, mas sangat memikirkan perasaan dan kebahagiaan ‘ta. Jadi apa pun yang mas katakan ini, tentunya tidak lepas dari kebahagiaan ‘ta itu sendiri” kataku.
Batinku semakin bergejolak. Suasana makin menghimpit. Raut kesedihan makin tampak jelas diwajahku ketika tiba-tiba air mata mulai menetes kembali dipipi Shinta. Kucoba menghalaunya. Namun aku terhanyut dalam perasaanku. Aku makin tak mampu melihat wanita yang telah mengisi relung hatiku menitikkan air mata. Kuusap bulir-bulir air mata itu, dan kubelai wajahnya yang manis. Hanya bisikan kecil yang mampu kuucapkan, ‘ta jangan nangis lagi yach!.
Aku hanya terdiam saja, saat Shinta mendekap dan menyandarkan wajah didadaku. Seberkas cahaya cinta terpancar jelas diwajah Shinta. Sentuhan kasih sayang Shinta yang selama ini kurindukan tiba-tiba menyeruak didadaku. Sebongkah kebahagiaan seketika menyusup dalam kalbuku. Shinta adalah wanita yang benar-benar dapat kuharapkan dan mampu memberikan kebahagiaan padaku kelak.
“ta, masmu tidak apa-apa kok” ucapku menenangkan perasaannya.
Dengan pandangan sayu, kutatap wajah Shinta yang masih basah. Namun hanya bayangan kegetiran yang tersemburat di dalam benakku. Dada kiriku terasa sesak, namun kucoba terus bertahan. Shinta memandangiku sangat dalam, menyiratkan keinginan yang kuat untuk hidup bersama denganku kelak.
“Ta nggak perlu lagi menangis. Mas janji akan tetap bersama ‘ta. Nggak peduli dengan kondisi kesehatan mas. Asalkan ‘ta bener-bener sayang, mas janji untuk hidup selamanya. Biarlah kita menjalani cinta ini dengan tulus. Tak perlu kita pikirkan penderitaan kita dimasa datang. Kalau pun kita menderita, kita akan menjalaninya bersama-sama” kataku meredam kesedihan Shinta sore itu.
Tetes airmata Shinta tak lagi mengalir. Azan Magrib menggema, menyadarkan kami kembali pada kenyataan hidup.
Aku bangkit melangkah dari tempat dudukku, diikuti oleh Shinta. Kuambil air wudhu, lalu menundukkan diri kehadapan Allah swt. Dalam penghambaanku malam itu, kutuangkan segala doa untuk kebahagiaan hidupku dan orang yang menyayangiku..
“Ya Allah, berikanlah petunjuk, rahmat dan hidayah-Mu pada kami. semoga apa yang akan kami jalani dapat memberikan rahmat dan kejernihan pemikiran dalam menentukan langkah masa depan hidup kami, dalam menghadapi cobaan hidup yang Engkau berikan”
“Ya Allah, seandainya kami berjodoh, anugerahkanlah kami keluarga yang sakinah mawaddah. Berikanlah kami khusnul khatimah dalam akhir hayat kami, dan.terangilah hati kami dengan ayat-ayat-Mu. sehingga kehidupan yang kami jalani adalah kehidupan yang Kau ridhoi”
Semua beban pemikiran kutuangkan diatas sajadah malam ini, semoga hubungan kasih yang kami jalani dapat memberikan hikmah bagi kehidupan kami.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.