Demonstrasi Mahasiswa, Kesadaran Atau Kenaifan? (opini)
Oleh
: Feri Yuliansyah
"Reformasi…reformasi…reformasi sampai mati!" Satu petikan lagu yang sering terdengar dalam setiap kali pergelaran demonstrasi mahasiswa. Sungguh heroik dan terasa penuh semangat perjuangan.. Di era 1998-an, bahkan jauh sebelumnya, petikan kalimat itu bisa jadi wujud ekspresi simbolik kemurnian gerakan moral dan kesungguhan mahasiswa. Lalu, Bagaimana dengan saat ini?
SUATU siang, disela-sela perkuliahanku, saya sempat berbincang sejenak dengan salah satu adik tingkat di jurusanku, mengenai pengalamannya mengikuti Up-Grading kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa di Fakultas tempatku kuliah. Saya tanyakan kepadanya mengenai acara dan suka dukanya mengikuti Up-Grading tersebut.
“Wah…seru pokoknyo
kak. Kami di ajari orasi oleh kakak-kakak BEM” ucapnya penuh semangat.
“ai, nak demo caknyo
tuh?’ kataku sedikit bertanya
“iyo. kalu Golkar gek menang (pada pemilu 5 april – red), kami nak demo?” jawabnya dengan bangga.
“iyo. kalu Golkar gek menang (pada pemilu 5 april – red), kami nak demo?” jawabnya dengan bangga.
“Demo?” sahutku
kaget.
“Iyo”
“Emang adek tahu isu
apo yang nak dibawa?.Apo yang nak diperjuangke-lah, istilahnyo tuh?”
"Dak tahu kak,
pokoknyo demo. Kakak-kakak BEM ngajak cak itu?”
“memangnyo idak
dikasih tahu, isu apo yang nak diangkat? Ngapo kalu Golkar menang nak di demo?”
“dak tahu kak, itukan
urusan kakak-kakak BEM" jawabnya.
Suatu realitas menggelitik tengah terjadi. Ini menimbulkan serangkaian pertanyaan, Ada apa dengan demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini? Benarkah aksi yang bersifat masif ini telah menurun kualitas maupun kuantitasnya?
Suatu realitas menggelitik tengah terjadi. Ini menimbulkan serangkaian pertanyaan, Ada apa dengan demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini? Benarkah aksi yang bersifat masif ini telah menurun kualitas maupun kuantitasnya?
Memang tak semua
mahasiswa calon peserta demonstrasi seperti itu, tak sedikit pula yang
benar-benar memahami maksud dan makna demonstrasi yang akan diikutinya.
Demonstrasi sebenarnya bukan satu-satunya pilihan gerakan mahasiswa. ada
berbagai macam pilihan gerakan mahasiswa yang lain, diantaranya adalah Pers
Mahasiswa yang dengan penuh semangat dan kegairahan untuk menjadi media
alternatif yang berani menginformasikan berita-berita yang mampu mempengaruhi
kebijakan, baik ditingkat universitas maupun masyarakat, khususnya pemerintah.
Namun tak dapat dipungkiri, ketika istilah gerakan mahasiswa muncul, yang
seringkali terpikir adalah demonstrasi atau aksi turun jalan. Begitu hebatnya
ekspose demonstrasi yang diberikan oleh berbagai media informasi, secara
langsung ataupun tak langsung menjadikan bentuk gerakan mahasiswa yang lain
tenggelam. Hal ini didukung oleh ‘pelegitimasian’ secara tidak langsung,
melalui komentar beberapa pakar sosial politik, yang seringkali menyamakan
gerakan mahasiswa sebagai demonstrasi itu sendiri.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau yang dulu lebih dikenal dengan nama senat mahasiswa juga bukan pula elemen tunggal penggerak demo, walaupun sebagai organisasi formal mahasiswa di dalam kampus, baik itu tingkat universitas maupun tingkat fakultas. Tetapi memang harus diakui, BEM mempunyai kekuatan simbolik lebih dibandingkan yang lainnya.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau yang dulu lebih dikenal dengan nama senat mahasiswa juga bukan pula elemen tunggal penggerak demo, walaupun sebagai organisasi formal mahasiswa di dalam kampus, baik itu tingkat universitas maupun tingkat fakultas. Tetapi memang harus diakui, BEM mempunyai kekuatan simbolik lebih dibandingkan yang lainnya.
Sebenarnya kalau
dikaji lebih mendalam, diantara gerakan mahasiswa yang ada, demonstrasi
merupakan bentuk yang cenderung dianggap anarkis. Seperti pentungan-pentungan
dan semprotan water canon dari polsi anti huru hara (PHH), lemparan batu para
demonstran, caci maki, dan contoh lain yang tidak simpatik, yang pada akhirnya
mungkin akan mengundang antipati. Tetapi patut diakui, di satu sisi, demonstrasi
merupakan bentuk penyampaian aspirasi yang efektif. Demonstrasi - menurut
metode crowd - akan dengan mudah menarik perhatian. Di saat diskusi susah untuk
dilakukan, partai politik terkooptasi, lembaga-lembaga perwakilan rakyat tak
mampu bersuara dan pura-pura tuli, serta militer sebagai alat negara, maka
demonstrasi akan menjadi cara yang mampu untuk diandalkan.
Namun, demonstrasi
seperti apakah yang dianggap baik? Ada anggapan bahwa demonstrasi yang berhasil
atau sering diistilahkan para pakar, bagus dalam tingkatan manajemen isu adalah
demonstrasi yang bermassa banyak. Sehingga media tertarik untuk meliput,
memunculkan kekaguman atau sebaliknya ketakutan bagi masyarakat. Tetapi, jika
kuantitas yang dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah demonstrasi, maka akan
semakin membuka peluang pemanfaatan-pemanfaatan atasnya. Sebab diakui atau
tidak, jumlah massa merupakan aspek yang sangat krusial. Hal ini terkait dengan
pembentukan public opinion atas isu-isu yang diusungnya, belum lagi
keter-kaitan elit atau golongan-golongan tertentu di dalamnya. Karena itulah,
demonstrasi tetap dianggap sebagai strategi paling efektif untuk meraih
dukungan publik melalui penguasaan public opinion. Lalu bagaimana dengan
demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini? kenapa demonstrasi mahasiswa itu tak
lagi memberikan greget?
Kalau kita cermati
dengan seksama, demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini seringkali diikuti oleh
orang yang itu-itu saja, dengan jumlah yang relatif tetap dan terbatas. Hal ini
tak hanya berlaku untuk demo yang diadakan BEM, tetapi juga kasus-kasus
tertentu yang tidak membutuhkan ‘almamater’ sebagai identitas simboliknya.
Padahal tidak sedikit pamflet yang tertempel, puluhan selebaran yang tersebar,
sekaligus pemberitahuan isu yang akan diangkat. Tapi tetap saja, tidak dapat
menarik perhatian. Sekali lagi. Apa yang terjadi? Adakah mahasiswa yang selama
ini dikenal sebagai lokomotif perubahan bangsa, mulai bergeser dan menjadi
mitos belaka? Bukankah pada mei 1998 lalu, gerakan mahasiswa mampu menyatukan
derap langkahnya, yang kemudian mampu membawa mantan presiden Soeharto untuk
turun dari singgasana-nya dan membuka titik awal angin reformasi?. Atau isu-isu
yang di usunglah yang menjadi pokok permasalahannya?
Ada beberapa
kemungkinan dari sederet pertanyaan di atas, di antaranya kesadaran akan isu
yang dibawa sehingga melahirkan subjektifitas pilihan untuk ikut serta, atau
secara umum dapat digambarkan bahwa, heterogenitas akar sosiol kultural elemen
gerakan mahasiswa yang melahirkan polarisasi ideologi yang begitu kental.
Hasilnya, bukan hanya keikutsertaan / ketidak ikutsertaan dalam demonstrasi,
tetapi lebih jauh lagi, pilihan-pilihan strategi aksi dan aliansi taktis yang
diambil juga berbeda. Atau barangkali pula, keanggotaan sebagai pengurus dalam
periode tertentu sebuah organisasi an-sich yang melahirkan kenaifan untuk ikut
serta dalam demonstrasi.
Beragam pendapat lain
barangkali muncul. Seperti yang pernah diungkapkan oleh teman saya Fera, yang
pernah menjadi salah satu pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa di Unsri, beberapa
waktu lalu. Ia mengatakan kondisi ini dikarenakan para wakil mahasiswa yang
duduk di BEM dan Dewan Perwakilan Mahasiswa adalah kelompok yang eksklusif
sehingga kurang dapat ataupun kurang mau mengajak mahasiswa untuk ‘bersatu’.
Namun selain itu, bisa jadi juga mahasiswa sendiri lah yang apatis dan pasif
dalam menyikapi persoalan-persoalan yang ada di sekelilingnya.
Setidak-tidaknya ada tiga penyebab kondisi di atas, yaitu Pertama, tidak adanya common denominator –meminjam istilah Nurcholis Madjid– atau isu bersama yang akan melahirkan kesatuan aksi gerakan pada mahasiswa, karena patut diakui, akhir-akhir ini, isu yang diangkat pada gerakan mahasiswa umumnya ‘cenderung besar’ dan tidak menyentuh permasalahan sekitar, padahal banyak sekali permasalahan internal di kampus yang bisa diangkat, terutama yang terkait dengan permasalahan mahasiswa dan ketidakwajaran kebijakan yang diambil pihak birokrat kampus. Mungkin, minimnya daya kritis atas isu-isu lokal ini secara tidak langsung dapat mereduksi gerakan mahasiswa. Atau barangkali pilihan isu-isu nasional itu dapat lebih menguntungkan BEM secara politis?. Kedua, faktor akademik, dalam arti disini yaitu minimnya pengetahuan mahasiswa saat ini tentang demokrasi, politik praktis, keterwakilan, partisipasi, ataupun isu-isu yang layak diperjuangkan. Ketiga, Tidak adanya dorongan internal dari mahasiswa.
Akhir kata, terlepas dari itu semua, demonstrasi mahasiswa adalah salah satu alat dari gerakan mahasiswa, yang sekali lagi diamanatkan untuk mengusung harapan, bukan hanya kebijaksanaan atas pilihan isu, tetapi juga kesadaran untuk menjalaninya, bukan suatu kenaifan. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk melakukan perubahan. Kalau tidak sekarang kapan lagi.
Setidak-tidaknya ada tiga penyebab kondisi di atas, yaitu Pertama, tidak adanya common denominator –meminjam istilah Nurcholis Madjid– atau isu bersama yang akan melahirkan kesatuan aksi gerakan pada mahasiswa, karena patut diakui, akhir-akhir ini, isu yang diangkat pada gerakan mahasiswa umumnya ‘cenderung besar’ dan tidak menyentuh permasalahan sekitar, padahal banyak sekali permasalahan internal di kampus yang bisa diangkat, terutama yang terkait dengan permasalahan mahasiswa dan ketidakwajaran kebijakan yang diambil pihak birokrat kampus. Mungkin, minimnya daya kritis atas isu-isu lokal ini secara tidak langsung dapat mereduksi gerakan mahasiswa. Atau barangkali pilihan isu-isu nasional itu dapat lebih menguntungkan BEM secara politis?. Kedua, faktor akademik, dalam arti disini yaitu minimnya pengetahuan mahasiswa saat ini tentang demokrasi, politik praktis, keterwakilan, partisipasi, ataupun isu-isu yang layak diperjuangkan. Ketiga, Tidak adanya dorongan internal dari mahasiswa.
Akhir kata, terlepas dari itu semua, demonstrasi mahasiswa adalah salah satu alat dari gerakan mahasiswa, yang sekali lagi diamanatkan untuk mengusung harapan, bukan hanya kebijaksanaan atas pilihan isu, tetapi juga kesadaran untuk menjalaninya, bukan suatu kenaifan. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk melakukan perubahan. Kalau tidak sekarang kapan lagi.
Penulis adalah Mahasiswa
jurusan Teknik Kimia Universitas Sriwijaya,
Alumni Ketua umum Lembaga
Pers Mahasiswa Universitas Sriwijaya
Copyright from Indralaya
Post, edisi April 2004
Tidak ada komentar: