Imam Al Ghazali

Nama, Nasab dan
Kelahiran Beliau
Beliau bernama
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali
(Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama
Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada
daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi
dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang
keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin
Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ
Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang
yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi
mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya
yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat
Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah
yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang
pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang
daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang
berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan
Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan
sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan
tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan
kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah
dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan
memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam
Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan
Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah
seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di
kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada
temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal
tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang
telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya,
dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal,
maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta
peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat
melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia
berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk
kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki
harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah
sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian
berdua.”
Lalu keduanya
melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau
berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu
enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun
bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil
pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling
mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah
semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis
dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah
nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak
yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah
mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang
faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah
nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali
memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin
Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk
mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat.
Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi
kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh
kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab
Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat.
Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang
menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al
Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam
Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul
Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul
Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat
ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan
tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan
yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat
Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat
dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan
terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan
filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang
disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu
atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat.
Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu
Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali
dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam
kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.”
(Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas
terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan
tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam,
cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa
6/54).
Demikianlah Imam
Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul,
tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran.
Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan
membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki
bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang
hakiki.
Adz Dzahabi
berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu
kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa
hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama.
Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan
akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini
merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan
seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar
A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya
dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena
itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu
Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat,
kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan
Imam Ghazali
Kedudukan dan
ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan
dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni
ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah,
ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji
dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H
beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi
Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat
masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin
Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah).
Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas
dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli
ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir
berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10
tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’
Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin
Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala
6/34).
Disampaikan juga
oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk)
mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud,
berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke
Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah.
Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 6/34).
Ketika Wazir
Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta
tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di
madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke
negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau
mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang
shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul
dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa
serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir
Kehidupannya
Akhir kehidupan
beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan
ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun
menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain
(Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat
menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits
dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul
Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal
Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu
Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.”
Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan
berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian
beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit
menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada
Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/201).
Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau
ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah,
karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/203-204
Beliau seorang
yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara
karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam
masalah ushuluddin dan aqidah:
- Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
- Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
- Al Iqtishad Fil I’tiqad.
- Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
- Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu
ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat
banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al
Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul
fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan
ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam
yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam
dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali
memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah
menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur
adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui
sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang
perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan
dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan
beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al
Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh
pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk
dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan
mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya
pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa
hal. 19).
Kemudian hal ini
dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap
orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak
para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak
mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik
dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun
Nadzar.
(3) Mi’yarul
Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful
Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul
Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad
Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul
Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun
Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan
keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan
ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab
Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat
transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy
Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali.
Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama
yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun
mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan
penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan
mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh
Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah
Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul
Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At
Ta’wil.
(12) Fadhaih Al
Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan
bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul
Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan
tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth
Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah
Alladuniyah.
(16) Ihya’
Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan
sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar
banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al
Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan
terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di
muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur
dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa.
Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat
diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya
kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda
tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya
mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan
akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir
seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam
kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan
ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta
was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj
(pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh
dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau
mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum
mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat
kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz
Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam
kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan
padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli
hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala
19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat
Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang
terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak
diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al
Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal
Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau
sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat
keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi
dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan
para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya
Ulumuddin.
(17) Al Munqidz
Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al
Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang
beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab
Beliau
Dalam masalah
fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al
Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz
termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para
ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan
pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam
sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab
Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof
serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar
dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang
terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam
aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya
tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu
yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru
dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah
juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat
penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi
tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf
beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan
sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi
beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara
dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara
tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan
tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan
mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam
buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi
bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul
Murtad hal. 110).
Adapun orang yang
menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah,
Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul
Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa
tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman
bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa
kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat
beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di
hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan
ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada
yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al
Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua,
mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan
kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof
saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu
Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr.
Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat
para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat
Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran
dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari
filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al
Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al
Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh
karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq
kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan
Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat
dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun
beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri.
Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang
yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan
bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash
dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash,
sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat
neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu
diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah
Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih
Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis
Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para
filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan
perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka.
Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan.
Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan
diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian.
Wallahu a’lam.”
***
Sumber: Majalah As
Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Tidak ada komentar: