Pers kampus sebagai media alternatif pergerakan mahasiswa (artikel)
By : Feri Yuliansyah
Begitulah, sejarah
mahasiswa Indonesia penuh dengan peran heroisme dan menentukan dalam situasi
tertentu. Kita tahu, awal tumbangnya kekuasaan sang proklamator bangsa ini, Ir.
Soekarno, diakibatkan oleh membiasnya motor pergerakan kaum terpelajar bangsa
ini. Terakhir, yang masih segar dalam ingatan kita yaitu ketika mahasiswa dari
berbagai penjuru nusantara bergerak maju digaris terdepan menghantam rezim orde
baru, yang kemudian mengarahkan bangsa ini ke zaman reformasi yang kita nikmati
hari ini.
Kaum Intelektual muda tampaknya memang harus terus menjadi penyeimbang dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, karena kaum intelektual muda, dengan gerakan moralnya, merupakan kekuatan yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Hal ini terbukti ketika Pak Amien Rais rela meninggalkan kepemimpinan sidang MPR-nya untuk menemui kaum intelektual muda yang berada diluar gedung pada saat SU MPR lalu.
Namun yang menjadi
pertanyaan, apakah kaum intelektual muda ini harus terus menerus menggunakan
pola aksi demonstrasi fisik dan berhadapan dengan PHH (Polosi Huru-Hara) dalam
menyampaikan aspirasinya? Berapa banyakkah tumbal kaum intelektual muda yang
harus berkorban untuk ibu pertiwi? Mungkinkah jumlah pengorbanan jiwa dan raga
kaum intelektual muda dapat dikurangi tanpa harus mengurangi tujuan mulia yang
hendak dicapai? Alternatif apa yang mungkin digunakan?
Sun Tzu ksatria Cina
tahun 500 S.M. dalam bukunya The Art of War mengatakan ". . . attaining
one hundred victories in one hundred battles is not the pinnacle of excellence.
Subjugating the enemy's army without fighting is the true pinnacle of
excellence." Singkat seninya – bagaimana mencapai tujuan & musuh kalah
tanpa bertempur dan berkorbanan secara fisik! Teknik information warfare &
psychological warfare melalui jaringan media massa barangkali menjadi kuncinya.
Media massa kampus
menjadi alternatif yang paling sederhana yang memungkinkan fungsi penyeimbang
terus di emban tanpa perlu mengorbankan kaum intelektual muda dalam proses
pencapaian tujuan-nya karena harus secara fisik berhadapan dengan PHH.
Koran atau majalah
kampus bukan barang baru bagi sebagian kampus di Indonesia, karena kelahiran
koran atau majalah kampus seiring dengan pergerakan mahasiswa Indonesia, dengan
mengandalkan dasar kemampuan jurnalistik mahasiswa yang telah ada pada diri
masing-masing mahasiswa, dan tinggal di poles supaya menjadi lebih profesional
yang secara simultan harus di barengi strategi regenerasi. Yang perlu kita
lakukan sekarang adalah membentuk format ulang materi isi koran atau majalah
kampus tersebut sesuai dengan tujuan mulia gerakan moral mahasiswa, yang
tentunya akan berbeda dengan format media massa umum yang lebih mengutamakan
orientasi bisnis.
Patut disadari bahwa pers kampus atau yang lebih populer disebut pers mahasiswa di era saat ini sangat berbeda jauh dengan pers mahasiswa dimasa lalu. Semangat dan roh perjuangan pers mahasiswa pada saat itu jauh lebih militan, kritis, dan menjual dipasaran.
Pada waktu itu, pers mahasiswa dapat menjadi media alternatif yang berani menginformasikan berita-berita yang mampu mempengaruhi kebijakan, baik ditingkat universitas maupun masyarakat, khususnya pemerintah. Pers mahasiswa dapat berdiri sebagai kekuatan politik alternatif yang mampu memberikan solusi-solusi alternatif, yang kemudian juga menjadi motor yang mempengaruhi media-media nasional untuk memberitakan informasi yang ‘berani’ dan aktual. Dengan kata lain, pers mahasiswa pada waktu itu tidak tertinggal dalam informasi pemberitaan dengan media-media nasional. Media mahasiswa yang terbit pada saat itu seperti Harian KAMI, Salemba, Mahasiswa Indonesia, dan berbagai media mahasiswa lain yang pernah eksis pada tahun 1966 – 1974. Disinilah kebanggaan pers mahasiswa untuk melihat bahwa pers mahasiswa memiliki eksistensi yang tinggi dibandingkan entitas kelompok mahasiswa lainnya. Pers mahasiswa pada tahun 1966 – 1974 mampu menggebrak pasar, diakui oleh masyarakat, dan memiliki kekuatan politik yang mampu melakukan perubahan kebijakan (policy)
Patut disadari bahwa pers kampus atau yang lebih populer disebut pers mahasiswa di era saat ini sangat berbeda jauh dengan pers mahasiswa dimasa lalu. Semangat dan roh perjuangan pers mahasiswa pada saat itu jauh lebih militan, kritis, dan menjual dipasaran.
Pada waktu itu, pers mahasiswa dapat menjadi media alternatif yang berani menginformasikan berita-berita yang mampu mempengaruhi kebijakan, baik ditingkat universitas maupun masyarakat, khususnya pemerintah. Pers mahasiswa dapat berdiri sebagai kekuatan politik alternatif yang mampu memberikan solusi-solusi alternatif, yang kemudian juga menjadi motor yang mempengaruhi media-media nasional untuk memberitakan informasi yang ‘berani’ dan aktual. Dengan kata lain, pers mahasiswa pada waktu itu tidak tertinggal dalam informasi pemberitaan dengan media-media nasional. Media mahasiswa yang terbit pada saat itu seperti Harian KAMI, Salemba, Mahasiswa Indonesia, dan berbagai media mahasiswa lain yang pernah eksis pada tahun 1966 – 1974. Disinilah kebanggaan pers mahasiswa untuk melihat bahwa pers mahasiswa memiliki eksistensi yang tinggi dibandingkan entitas kelompok mahasiswa lainnya. Pers mahasiswa pada tahun 1966 – 1974 mampu menggebrak pasar, diakui oleh masyarakat, dan memiliki kekuatan politik yang mampu melakukan perubahan kebijakan (policy)
Disini kita melihat
bahwa pers mahasiswa secara histories telah membuktikan bagaimana media
alternatif mahasiswa telah menjadi sorotan dimasyarakat. Hanya saja, romantisme
itu berlalu setelah pasca NKK/BKK dikeluarkan, yang kemudian memaksa pers
mahasiswa untuk melakukan perubahan peran, sehingga secara tidak langsung
mematikan gerakan pers mahasiswa sebagai gerakan politik. Pada era setelah
NKK/BKK, hanya muncul media-media kampus yang bersifat organisasi internal
kampus yang berada dibawah naungan universitas atau fakultas, yang lebih
dikenal pada saat ini sebagai Lembaga Pers Mahasiswa, Suatu unit organisasi
formal mahasiswa.
Tak salah rasanya,
apabila setiap mahasiswa pada saat ini secara bahu-membahu melakukan
re-eksistensi gerakan pers mahasiswa. karena pers mahasiswa itu sendiri
mempunyai sejarah yang kuat dan panjang.
Ketika gerakan
mahasiswa (demonstrasi –red) akhir-akhir ini kurang memberikan hasil yang
efektif dimana ketidaksadaran mahasiswa akan isu yang dibawa dalam aksi
demonstrasi, sering melahirkan subjektiftas mahasiswa untuk ikut serta, atau
secara umum dapat digambarkan bahwa, heterogenitas akar sosiol kultural elemen
gerakan mahasiswa yang melahirkan polarisasi ideologi yang begitu kental.
Hasilnya, bukan hanya keikutsertaan / ketidak ikutsertaan dalam demonstrasi,
tetapi lebih jauh lagi, pilihan-pilihan strategi aksi dan aliansi taktis yang
diambil juga berbeda, yang kemudian menumpulkan taring demonstrasi mahasiswa.
Sudah saatnya, gerakan mahasiswa merajut kembali kekuatan pers mahasiswa yang mampu menyajikan pemikiran-pemikiran kriits atau juga mampu menyalurkan aspirasi rakyat dan mahasiswa tanpa harus berhadapan langsung dengan pentungan-pentungan aparat, dan juga semprotan water canon.
Sudah saatnya, gerakan mahasiswa merajut kembali kekuatan pers mahasiswa yang mampu menyajikan pemikiran-pemikiran kriits atau juga mampu menyalurkan aspirasi rakyat dan mahasiswa tanpa harus berhadapan langsung dengan pentungan-pentungan aparat, dan juga semprotan water canon.
Satu cita-cita yang mesti
kita pikirkan bersama adalah bagaimana membentuk satu kesatuan aksi dalam
jaringan informasi memanfaatkan infrastruktur yang ada. Bahkan mungkin akan
sangat menakjubkan apabila kaum intelektual muda seperti mahasiswa mampu
memotori terbentuknya jaringan media jurnalistik kampus nasional secara
mandiri, dengan jaringan yang mengkaitkan semua kampus yang ada. Tentunya ini
akan menjadi kekuatan pers mahasiswa yang patut diperhitungkan dikancah pers
nasional. Bukankah media maya seperti detik.com yang hanya mempunyai kekuatan
personil pemberitaan tak lebih dari 100 orang, mampu menandingi kekuatan kantor
berita Antara dalam waktu yang relatif singkat. Bagaimana dengan jaringan pers
mahasiswa yang kalau disatukan mampu mempunyai kekuatan personil redaksi lebih
dari 1500 orang. Bukankah ini suatu kekuatan yang nyata, yang dapat membangun
eksistensi pers mahasiswa di nusantara?
Namun, yang patut diingat adalah bahwa pers mahasiswa berbeda dengan pers umum dan pers mahasiswa bukan media tandingan atau pesaing media umum. Pers mahasiswa mempunyai jalur dan karakteristik tersendiri. Artinya pers mahasiswa tidak dapat ditempatkan vis a vis dengan pers umum. Tentunya para aktivis pers mahasiswa harus menyadari bahwa pers mahasiswa mempunyai berbagai kekurangan apabila dibandingkan dengan pers umum, entah itu profesionalisme, manajemen, ataupun kekuatan finansial dan pemberitaan. Tapi ini bukan berarti pers mahasiswa terlalu lemah untuk dapat eksis.
Namun, yang patut diingat adalah bahwa pers mahasiswa berbeda dengan pers umum dan pers mahasiswa bukan media tandingan atau pesaing media umum. Pers mahasiswa mempunyai jalur dan karakteristik tersendiri. Artinya pers mahasiswa tidak dapat ditempatkan vis a vis dengan pers umum. Tentunya para aktivis pers mahasiswa harus menyadari bahwa pers mahasiswa mempunyai berbagai kekurangan apabila dibandingkan dengan pers umum, entah itu profesionalisme, manajemen, ataupun kekuatan finansial dan pemberitaan. Tapi ini bukan berarti pers mahasiswa terlalu lemah untuk dapat eksis.
Pers mahasiswa
tentunya harus mampu menjadi bagian yang tak terpisahkan pada kelompok-kelompok
mahasiswa yang turut berperan penting dalam menjadi komunitas yang diakui. Hal
ini tentunya berkaitan dengan bagaimana pers mahasiswa mampu menciptakan
komunitas pembacanya, yang didalamnya terdiri dari mahasiswa dan civitas akademika.
Dengan kata lain, bagaimana membangun keterpengaruhan yang besar terhadap
gerakan mahasiswa, yang kemudian dapat menjadi motor yang menciptakan common
denominator –meminjam istilah Nurcholis Madjid– atau isu bersama yang akan
melahirkan kesatuan aksi gerakan pada mahasiswa. Disinilah peran ideal pers
mahasiswa. Banyak hal yang dapat kita perbuat untuk melakukan perubahan. Kalau
tidak sekarang, kapan lagi.
Penulis adalah salah satu aktivis pers mahasiswa,
Mantan Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa Unsri.
Copyright from Indralaya
Post edisi April 2004
Tidak ada komentar: